Selasa, 06 April 2010

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PROFESI PADA SISWA

TUGAS INDIVIDUAL


PENGAMBILAN KEPUTUSAN PROFESI PADA SISWA


MATA KULIAH:
PENAMBILAN KEPUTUSAN



DOSEN:
TUTI ANDRIANI, M.Pd















OLEH:
KARNO ARIYANTO
NIM: 10713000139



PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
JANUARI 2010



KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan tepat waktu. Sholawat beserta salam dipersembahkan untuk Nabi besar Muhammad SAW yang telah berjasa membawa kita ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. semoga kita selalu dalam safaat Beliau, Amiin.
Selesainya tugas ini tentunya tidak telapas dari partisipasi dan dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak. Semoga Allah membalas kebaikan mereka di dunia dan di akhirat. Untuk itu ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampai kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ini.
Sebagai penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kesalahan baik dari metodologi penulisan, bahasa maupun isi. Untuk itu saya sangat mangharapakan kritik dan saran dari pihapihak yang membaca tulisan ini, agar tulisan ini bisa menjadi lebih baik untuk ke depanya.



Pekanbaru, 16 November 2009


KARNO ARIYANTO
NIM: 10713000139






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Masalah 2


BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengambilan Keputusan 3
B. Urgensi Pengambilan Keputusan 5
C. Pengertian Profesi 7
D. Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi 9

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN 11

DAFTAR PUSTAKA 13




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1, ayat 1 pengertian pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pengertian tersebut merupakan ungkapan makna teleologis dari pendidikan yakni menciptakan warga negara yang bertaqwa, berakhlak dan terampil. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diselenggarakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang bersifat formal, nonformal maupun informal dengan berbagai jenjang mulai dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi.
Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang ditempuh oleh anak Indonesia dalam mengikuti kegiatan pembelajaran secara formal. Jenjang ini merupakan tahap yang strategis dan kritis bagi perkembangan dan masa depan anak Indonesia. Pada jenjang ini, anak Indonesia berada pada pintu gerbang untuk memasuki dunia pendidikan tinggi yang merupakan wahana untuk membentuk integritas profesi yang didambakannya. Pada tahap ini pula, anak Indonesia bersiap untuk memasuki dunia kerja yang penuh tantangan dan kompetisi.
Secara psikologis, masa tersebut merupakan masa pematangan kedewasaan. Pada tahap ini anak mulai mengidentifikasi profesi dan jati dirinya secara utuh. Para ahli pendidikan seperti Montessory dan Charless Buhler (dalam Sugeng Santosa; 2000), menyatakan bahwa pada usia tersebut seseorang berada pada masa ‘penemuan diri’. Secara spesifik, Montessory menyebutkan pada usia 12 – 18 tahun, sementara Charles Buhler menyebutkan pada usia 13 – 19 tahun. Salah satu aspek ‘penemuan diri’ pada anak yang paling penting pada tahap ini adalah pekerjaan dan profesi. Secara psikologis mereka mulai mengidentifikasi jenis pekerjaan dan profesi yang sesuai dengan bakat, minat, dan kecerdasan serta potensi yang dimilikinya.
B. Rumusan Masalah
Agar penejalasan dalam makalah ini tidak meluas atau keluar dari permasalahannya, maka rumusan masalah pada masalah pada makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan Pengambilan Keputusan?
2. Apakah yang dimaksud dengan Profesi?
3. Apa urgensi pengambilan keputusan profesi?

C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atasa maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari rumusan masalah itu adalah:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Pengambilan Keputusan
2. Untuk Mengetahui Pengertian Profesi.
3. Untuk Mengetahui Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama, menyusn alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan keputusan yang terbaik.
Fred Luthans dan Keith Davis (1996) mengemukakan bahwa “Decision making is almost universally defined as choosing between alternatives”. Artinya, bahwa secara umum pengertian dari pengambilan keputusan adalah memilih diantara berbagai alternatif. Pengertian ini diperkuat oleh pendapat Garry Deslerr (2001) bahwa “Decision is a choice made between available alternatives”. Ditinjau dari sudut pandang lain dinyatakan pula bahwa “Decision making is the process of developing and analyzing alternatives and choosing from among them” (Garry Desler, 2001). Way K. Hay dan Cecil G. Miskel (1982) menyatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan siklus kegiatan yang melibatkan pemikiran rasional baik secara individu maupun kelompok dalam semua tingkat dan bentuk organisasi. Pendapat ini menyebutkan pemikiran rasional sebagai hal yang penting. Pemikiran yang rasional merupakan landasan dalam membuat keputusan, karena pilihan terhadap berbagai alternatif yang tersedia didasarkan pada pertimbangan plus-minus, atau manfaat dan konsekwensi yang menyertai setiap pilihan. Setiap pilihan memiliki konsekwensi. Dan rasionalitas berperan utama dalam menemukan konsekwensi tersebut sebelum keputusan diimplementasikan.
Secara umum, pengertian pengambilan keputusan telah dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya adalah:
1. G. R. Terry: Mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah sebagai pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang mungkin.
2. Claude S. Goerge, Jr: Mengatakan proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan diantara sejumlah alternatif.
3. Horold dan Cyril O'Donnell: Mereka mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari perencanaan, suatu rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan, suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.
4. P. Siagian: Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta dan data, penelitian yang matang atas alternatif dan tindakan.
5. Theo Haiman: Inti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan, suatu pemilihan cara bertindak. Dalam hubungan ini kita melihat keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih oleh manajer sebagai suatu yang paling efektif, berarti penempatan untuk mencapai sasaran dan pemecahan masalah.
6. Drs. H. Malayu S.P Hasibuan: Pengambilan keputusan adalah suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternative untuk melakukan aktifitas-aktifitas pada masa yang akan datang.
7. Chester I. Barnard: Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari perilaku perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara relative dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah laku organisasi lebih penting dari pada kepentingan perorangan.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, terdapat satu kata kunci yang penting untuk memahami makna pengambilan keputusan yakni memilih (choice). Memilih berarti menentukan satu hal dari beberapa hal yang ada atau tersedia. Sesuatu yang dipilih ditentukan oleh pertimbangan selera dan rasionalitas individu (Herbert A. Simon, 1997). Biasanya, selera dan rasionalitas tersebut merujuk pada hal-hal yang menyenangkan atau menguntungkan individu dan masyarakat.
Jadi, secara sederhana pengambilan keputusan merupakan peristiwa yang senantiasa terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari dinamika perkembangan kehidupan yang senantiasa berubah dan bersifat sangat kompleks. Dalam konteks ini, proses pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk respon manusia terhadap lingkungannya. Keputusan yang diambil oleh manusia akan menjadi awal bagi penentuan kehidupan selanjutnya. Demikian seterusnya terjalin secara dialektis antara proses pengambilan keputusan dengan lingkungan kehidupan manusia yang luas dan kompleks.

B. Urgensi Pengambilan Keputusan
Keharusan untuk membuat pilihan atau untuk mengambil sebuah keputusan tentunya harus dilandasi dengan adanya alasan atau latar belakang yang kuat. Keputusan tersebut tidak perlu dilakukan, karena Keputusan yang harus diambil memang sudah merupakan keharusan sebagai bagian dari pelaksanaan kegiatan rutin. Akan tetapi, untuk hal-hal yang baru dan bersifat kebijakan manajerial, penetapan adanya alasan yang kuat untuk pengambilan Keputusan tersebut tidak jarang memerlukan perhatian dan kajian khusus, mengingat banyak dan beragamnya informasi yang ada, terutama dalam situasi yang selalu mengalami perubahan seperti saat ini.
Selain itu urgensi dari sebuah pengambilan keputusan adalah:
1. Kedewasaan Sikap
Kedewasaan baik secara individu ataupun kolektif, sangat ditentukan oleh sebuah kata yang bernama sikap. Kematangan ditentukan oleh baik-buruknya sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Dalam hal ini, dunia politik merupakan wilayah yang kontradiktif: di satu sisi kita dituntut untuk sangat dewasa, namun di sisi lain kedewasaan dalam penyikapan adalah suatu hal yang luar biasa sulit. Resikony sangat besar, tantangannya sangat banyak, dan persoalannya sangat memusingkan. Tapi inilah yang menjadi ajang eliminasi politisi, pemimpin, dan sebuah pergerakan.
Penilaian akan mutu sebuah penyikapan politis adalah hasil measure iindikator-indikator ketepatan, efektivitas, dan konsistensi dari sikap yang diambil tersebut.
Ketepatan berkaitan dengan momentum, situasi, tempat, orang, dan iklim penerapan keputusan tersebut. Ini adalah sebuah kolaborasi yang indah dari kebenaran dan presisi.
Efektivitas terkait langsung dengan ketepatan, namun lebih banyak berbicara bagaimana mewujudkan sebuah keputusan yang tepat menjadi realita. Dan ia terkait dengan hal-hal teknis.
Konsistensi, merupakan garis batas yang dengan tegas memisahkan antara idealisme dan pragmatisme. Membangun sebuah konsistensi merupakan upaya yang sulit, mengingat keputusan tidak selamanya tepat atau langsung tepat.
2. Nilai Kebenaran
Kebenaran yang menjadi isi pokok sebuah keputusan sangat terkait dengan referensi, metoda dan proses. Mengenai referensi, kita tidak akan pernah ragu untuk selalu mengedepankan syari’ah: Al Qur’an dan Sunnah. Dalam pada itu, metode yang kita terapkan adalah ijtihad. Ijtihad yang “luas”, tidak jumud. Ijtihad yang mampu menampung dan memadukan dua hal sekaligus : “fiqh wahyu” dan “fiqh waqi’” (realitas). Ijtihad pada hakikatnya adalah mengejawantahkan kebenaran wahyu dalam kebenaran realitas. Maka titik tekan ijtihad kita adalah mashlahat, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “di mana ada kemashlahatan bagi manusia, di sana pasti terdapat syari’at Allah SWT”.
Perlu diingat bahwa tolak ukur kemashlahatan sangat relatif, abstrak, intangible. Namun ia dapat dikira-kira, diasumsikan dengan berbagai data, fakta-fakta, pertimbangan, dan perimbangannya dengan idealita yang kita maksudkan. Sehingga zhann yang kita anut adalah asumsi yang rajih, kuat.
Setelah selesai urusan referensi dan metode, elemen akhir yang terdapat dalam rahim kebenaran adalah proses yang tepat. Ini sekaligus berbicara tentang lembaga pengambilan keputusan itu sendiri. Inilah yang kita sebut dengan syuro. Kemashlahatan yang menjadi tujuan harus melalui asumsi dasar yang kuat, merujuik kepada realitas , rasionalitas dan idealitas. Tentu saja akal kolektif lebih baik dari akal individu. Seperti dikatakan Rasul SAW, “Tidak keliru yang istikharah, dan tidak merugi yang bermusyawarah”
C. Pengertian Profesi.
Profesi dapat diartikan sebagai sautu pekerjaan yang mensyaratkan persiapan spesialisasi akademik dalam waktu yang relatif lama di perguruan tinggi. Hal ini mencakup berbagai bidang, seperti bidang sosial, eksakta, dan seni. Pekerjaan ini lebih bersifat mental intelektual yang dalam mekanisme kerjanya dikuasi oleh kode etik.
Profesi sesungguhnya merupakan lembaga yang mempunyai otoritas otonom, karena didukung oleh beberapa factor, yaitu spesialiasi ilmu sehingga membawa keahlian tertentu, kode etik yang direalisasikan dalam menjalankan profesi.
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai pekerjaan yang didasari oleh keterampilan dan keahlian (skill and expertise) tertentu. Carter V. Good (1973), menjelaskan bahwa jenis pekerjaan yang berkualifikasi profesional memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi calon pelakunya, kecakapan profesi berdasarkan standard baku yang ditetapkan oleh organisasi profesi atau organisasi yang berwenang lainnya, profesi tersebut mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan negara dengan segala civil effectnya (Carter V. Good, 1973).
Ahli profesi di Indonesia seperti dikutip oleh Nyoman Dentes menyusun ciri-ciri utama profesi, yakni sebagai berikut:
1. Memiliki fungsi atau signifikansi sosial yang krusial.
2. Tuntutan penguasaan keterampilan sampai pada tingkatan tertentu.
3. Proses pemilikan keterampilan tersebut berdasarkan penggunaan metode imiah.
4. Memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, eksplisit dan sistematis.
5. Penguasaan profesi tersebut memerlukan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2002).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka makna terpenting dari profesi adalah adanya keterampilan sebagai dasar kehidupan yang diperoleh melalui pendidikan, dan bertujuan untuk menolong masyarakat. Pengertian ini menyiratkan makna bahwa tidak semua pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi. Tetapi setiap profesi selalu berbentuk pekerjaan.


D. Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi.
Berdasarkan uraian sebelumnya tentang profesi, dapat dimengerti bahwa profesi merupakan salah satu urusan penting dan utama bagi kelangsungan hidup, harkat dan martabat individu. Hal tersebut karena profesi berkaitan dengan pekerjaan, mata pencaharian, dan penghasilan serta kesejahteraan. Kehidupan seseorang dapat memiliki makna yang berarti hanya dengan profesi yang digeluti. Tanpa profesi yang dijalani, maka kehidupan seseorang tidak memiliki nilai.
Sebelum suatu profesi dijalani, terlebih dahulu secara personal terjadi proses pengambilan keputusan, yakni aktivitas berpikir, menelaah dan menimbang beberapa jenis profesi. Ini adalah proses pengambilan keputusan profesi. Dalam rentang kehidupan individu, ada suatu tahap di mana tahap perkembangan individu secara sadar mendorongnya untuk memilih profesi, dan/atau pekerjaan. Tahap ini menurut Anne W. Gormly dan David M. Brodzisky (1993) disebut dengan tahap decision years; yakni masa pengambilan keputusan. Secara biologis, ini ada pada rentang usia 18 – 40 tahun. Masa ini disebut pula dengan fase awal kedewasaan (early-childhood). Pada fase ini, seseorang mulai memasuki dunia kerja, profesi, dan karier.
Selanjutnya, Gormly dan Brodzisky (1993) mengkaji kehidupan manusia berdasarkan ‘lifespan perspektif’; yakni suatu pandangan yang meyakini bahwa perkembangan yang terjadi sepanjang usia manusia merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor: fisik, biologis, sosial, historis, budaya dan psikologis. Mereka membagi tahapan kehidupan manusia terdiri atas: beginning years, exploring years, learning years, transition years, decision years, reassessment years, golden years, dan final years. Setiap tahap adalah kontinuitas dan sekuens dari tahap sebelumnya.
Berdasarkan lifespan perspektif, maka pekerjaan, mata pencaharian dan profesi, ada dan mulai berkembang pada tahap learning years, transition years, dan decision years dan seterusnya. Pada tahap learning years, individu mulai menyadari pentingnya peran dan pekerjaan. Ini ada pada usia 6 – 12 tahun. Oleh karena itu, tahap ini dalam perspektif psikologis disebut masa pertengahan anak-anak (middle-childhood). Selanjutnya setelah learning years adalah tahap transisi (transition years) pada usia 12 – 18 tahun. Biasa disebut pula dengan masa Adolescence. Pada tahap ini orang mulai mengembangkan keterampilan kerja, bekerja paruh waktu, dan mulai mengeksplorasi dan merencanakan karier. Setelah tahap ini selesai, maka seseorang memasuki tahap decision years.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa jenjang Pendidikan Menengah atau masa pada Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berada pada rentang usia 16 – 18 tahun merupakan akhir masa transisi (transition years) dan awal masa pengambilan keputusan (decision years). Oleh karena itu, pengambilan keputusan profesi pada masa ini merupakan hal yang penting.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pada umumnya siswa pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, MA, SMK) yakni 64,25%, belum mampu mengambil keputusan untuk profesi, pekerjaan dan karier yang akan digelutinya.
2. Pada umumnya siswa pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, MA, SMK) belum memperoleh wawasan, pengetahuan dan informasi yang cukup untuk mengambil keputusan tentang profesi, pekerjaan, dan karier.
3. Pada umumnya orang tua siswa, pendidik dan tenaga kependidikan pada jenjang Pendidikan Menengah belum memberikan wawasan, pengetahuan dan informasi yang relevan tentang dunia pekerjaan dan profesi kepada siswa.

B. Saran-saran.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:
1. Para pengamat dan ilmuwan sosial perlu merubah titik pandang (point of view) tentang penyebab pengangguran terutama pengangguran terpelajar (scholar unemployment). Selama ini pandangan publik terbentuk bahwa pengangguran merupakan akibat dari kelangkaan kesempatan kerja. Tetapi melalui temuan penelitian ini, pandangan tersebut tidak semuanya benar. Pengangguran terutama pengangguran terpelajar (scholar unemployment) juga merupakan akibat dari ketidak-siapan output pendidikan memasuki pasar kerja. Hal tersebut karena mereka belum mengambil keputusan tentang profesi ketika berada di sekolah.
2. Sekolah terutama pada jenjang Pendidikan Menengah perlu menyediakan informasi dan wawasan dasar tentang profesi, pekerjaan dan karier kepada siswanya. Pendidik dan tenaga kependidikan, utamanya Kepala sekolah bersama guru Bimbingan Penyuluhan dan Konseling perlu memberikan pengetahuan dan informasi yang relevan tentang pekerjaan, profesi dan karier kepada siswa-siswinya. Hal ini harus diatur sedemikian rupa agar tidak menggagu proses belajar-mengajar anak, serta tidak mempengaruhi hasil belajar. Sedapat mungkin ini dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi anak untuk memacu prestasinya dan menyongsong masa depannya yang cerah.
3. Orang tua atau wali siswa diharapkan sering melakukan dialog (sharing) dengan putra-putrinya yang duduk di bangku sekolah jenjang Pendidikan Menengah untuk membahas pekerjaan dan profesi yang akan digeluti.









DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS RI
Depdiknas. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 038, Tahun ke 8, 2002. Jakarta: Balitbang-Diknas
Santoso, Sugeng. 2000. Problematika Pendidikan. Jakarta: Kreasi Pena Gading
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Potensia, Jurnal Kependidikan Islam, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar