Jumat, 30 April 2010

PERANAN KEPALA SEKOLAH SEBAGAI EDUKATOR DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 KECAMATAN BUNGURAN BARAT KABUPATEN NATUNA

SINOPSIS

PERANAN KEPALA SEKOLAH SEBAGAI EDUKATOR DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 KECAMATAN BUNGURAN BARAT KABUPATEN NATUNA














Oleh:

KARNO ARIYANTO
NIM: 10713000139




MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU


2010



PERANAN KEPALA SEKOLAH SEBAGAI EDUKATOR
DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 KECAMATAN BUNGURAN BARAT KABUPATEN NATUNA


A. Latar Belakang
Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa.
Pendidikan mempunyai peran penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempunyai pengaruh secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap menghadapi perubahan lingkungan kerja. Oleh karena itu tidak heran apabila negara yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia pada umumnya dikelola oleh pihak pemerintah dan swasta. Lembaga pendidikan swasta yang berdiri selama ini biasanya berdasarkan atas kesadaran merasa bertanggungjawab terselenggaraannya pembangunan, khususnya dalam bidang pendidikan. Semuanya harus menanggung keseluruhan kebutuhan pendidikan tenaga pendidik, kebutuhan sehari-hari, sarana dan prasarana inventaris dan keuangan. Kelangsungan hidup lembaga pendidikan swasta adalah tanggungjawab dari semua pihak pengelolaan dan partisipasi masyarakat.
Lembaga pendidikan merupakan suatu yang terpenting dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, khususnya tujuan masyarakat terhadap pendidikan anak-anak mereka. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan dibina secara terus menerus. Di sinilah perlunya fungsi pengelolaan yang baik oleh pihak sekolah, khususnya kepala sekolah karena “manajemen atau pengelolaan adalah hal yang esensial pada semua kerjasama yang terorganisasi”. Dalam hal ini lembaga pendidikan Islam dipandang sebagai suatu organisasi atau kesatuan kerjasama yang melibatkan pengurus (Yayasan), pimpinan perguruan, majlis guru, pegawai dan siswa sebagai sasaran kegiatan lembaga. Menurut Arifin “Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi baik antara sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya”. Di sinilah penting dan perlunya teknik dan prinsif manajemen. “Kalau prinsip dan teknik manajemen dapat dikembangkan, dibuktikan dan diterapkan, maka efisiensi manajerial akan lebih baik”.
Kepala Sekolah sebagai sosok pimpinan yang diharapkan dapat mewujudkan harapan bangsa. Oleh Karena itu diperlukan seorang Kepala Sekolah yang mempunyai wawasan ke depan dan kemampuan yang memadai dalam menggerakkan organisasi sekolah. Menurut Soebagio kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama, karena melalui kepemimpinan yang baik kita harapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal yang terpenting bahwa melalui pendidikan kita menyiapkan tenaga-tenaga yang terampil, berkualitas, dan tenaga yang siap pakai memenuhi kebutuhan masyarakat bisnis dan industri serta masyarakat lainnya
Sebagai pendidik, kepala sekolah diharapkan mampu memberikan berbagai contoh keteladanan yang baik kepada guru, yaitu melalui sikap, prilaku, penampilan kerja maupun penampilan fisik. Peran kepala sekolah dalam kontek pendidik, dipandang sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam membentuk jiwa profesionalisme guru dan pada akhirnya bermuara pada terwujudkan tujuan pendidikan.
Menurut Wahjosumidjo sebagai seorang pendidik, Kepala Sekolah harus mampu menanamkan, memajukan, dan meningkatkan nilai mental, moral, fisik dan artistik kepada para guru atau tenaga fungsional yang lainnya, tenaga administrasi (staf) dan kelompok para siswa atau peserta didik. Untuk menanamkan peranannya ini Kepala Sekolah harus menunjukkan sikap persuasif dan keteladanan. Sikap persuasif dan keteladanan inilah yang akan mewarnai kepemimpinan termasuk didalamnya pembinaan yang dilakukan oleh Kepala Sekolah terhadap guru yang ada di sekolah tersebut.
Kepala Sekolah sebagai edukator, supervisor, motivator yang harus melaksanakan pembinaan kepada para karyawan, dan para guru di sekolah yang dipimpinnya karena faktor manusia merupakan faktor sentral yang menentukan seluruh gerak aktivitas suatu organisasi, walau secanggih apapun teknologi yang digunakan tetap faktor manusia yang menentukannya. Dalam fungsinya sebagai penggerak para guru, Kepala Sekolah harus mampu menggerakkan guru agar kinerjanya menjadi meningkat karena guru merupakan ujung tombak untuk mewujudkan manusia yang berkualitas. Guru akan bekerja secara maksimum apabila didukung oleh beberapa faktor diantaranya adalah kepemimpinan Kepala Sekolah.
Dalam meningkatkan kinerjanya sebagai pendidik khususnya dalam peningkatan tenaga kependidikan dan prestasi belajar peserta didik dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Mengikutsertakan guru-guru dalam penataran untuk menambah wawasan para guru. Kepala sekolah harus juga memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan belajar kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
2. Kepala sekolah harus berusaha menggerakan evaluasi hasil belajar peserta didik untuk lebih giat bekerja, kemudian hasilnya diumumkan secara terbuka dan diperlihatkan dipapan pengumuman. Hal ini bermanfaat untuk memotivasi para peserta didik agar lebih giat belajar dan meningkatkan prestasinya.
3. Menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah, dengan cara mendorong para guru memulai dan mengakhiri pembelajaran sesuai waktu yang telah ditentukan, serta memanfaatkannya secara efektif dan efisien untuk kepentingan pembelajaran.
Kemampuan mengembangkan tenaga kependidikan terutama berkaitan dengan pemberian kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan secara teratur, revitalisasi musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), musyawarah guru pembimbing (MGP) dan kelompok kerja guru (KKG), diskusi seminar, loka karya, dan penyediaan sumber belajar dalam rangka pengembangan tenaga kependidikan, kepala sekolah juga harus memperhatikan kenaikan pangkat dan jabatannya.
Menjadi guru tanpa motivasi kerja akan cepat merasa jenuh karena tidak adanya unsur pendorong. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya gairah kerja guru, agar guru mau bekerja keras dengan menyumbangkan segenap kemampuan, pikiran, keterampilan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Guru menjadi seorang pendidik karena adanya motivasi untuk mendidik. Bila tidak punya motivasi maka ia tidak akan berhasil untuk mendidik atau jika dia mengajar karena terpaksa saja karena tidak kemauan yang berasal dari dalam diri guru.
Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran barat ini berawal dari sebuah Yayasan Pendidikan Islam Ibnu Khaldun Kecamatan Bunguran Barat yang telah berdiri sekitar 18 tahun yang lalu, artinya telah terjadi beberapa kali pergantian kepala sekolah sehingga banyak pula pengalaman yang didapat dalam hal peranan kepala sekolah sebagai pendidik di sebuah lembaga pendidikan, dan seharusnya semakin lama akan semakin baik pula peranan sebagai pendidik di Madrasah Aliyah yang dapat tercermin dari peningkatan kualitas Madrasah Aliyah Negeri 1 itu sendiri, sehingga ia akan dapat menjadi basis terdepan untuk mengantisipasi secara dini dampak negatif dari pengembangan Kabupaten Natuna nantinya, dengan pembekalan ilmu-ilmu agama dan keterampilan di bidang penguasaan teknologi bagi para siswanya.
Kenyataannya adalah sebagai seorang pendidik kepala sekolah masih kurang memahami peranannya sebagai pendidik yang baik. Hal itu dapat dari gejala-gejala sebagai berikut;
1. Masih banyaknya guru-guru yang datang terlambat ke sekolah.
2. Masih adanya guru-guru yang keluar kelas ketika jam mengajar.
3. Masih adanya guru yang berpakaian kurang rapi (tidak sopan).
4. Masih adanya staf yang bekerja bukan pada bidangnya.
5. Masih adanya guru yang tidak menggunakan jam mengajar disecara efektif.
6. Masih adanya guru yang malas datang ke sekolah.
7. Kurangnya profesionalisme guru dalam mengajar.
8. Kurangnya minat mahasiswa untuk mengikuti pelajaran.
9. masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh siswa.
Berdasarkan gejala-gejala di atas, yang menunjukkan adanya kecendrungan peranan Kepala Sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 masih tergolong belum baik. Atas alasan itu penulis tertarik untuk meneliti masalah ini dengan judul: Pernan Kepala Sekolah Sebagai Edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
c. Kesadaran kepala sekolah dalam peranannya sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna..
d. Upaya kepala sekolah dalam melaksanakan peranannya sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna..
e. Kesiapan kepala sekolah dalam peranannya sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
2. Batasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksudkan agar pembahasannya mengenai sasaran dan tidak mengambang. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah tentang Pernan Kepala Sekolah Sebagai Edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.


C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai masukan bagi kepala sekolah MAN 1 Kecamatan Bunguran Barat dalam peranannya sebagai edukator dalam menjaga nama baik sekolah yang ia pimpin.
b. Untuk memberikan motivasi kepada guru-guru dalam menjalankan kewajiban msing-mansing
c. Untuk memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuan penulis tentang Manajemen Pendidikan Islam sesuai dengan jurusan penulis di UIN Suska Riau
d. Sebagai sumbangan penulis kepada fakultas tarbiyah dan keguruan UIN suska riau yang merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaiakan program S1 pada jurusan kependidikan islam prodi Manajemen Pendidikan Islam


D. Metode Penelitian
1. Waktu dan Lokasi Penilitian
Penelitian ini dilakukan setelah seminar proposal penelitian dan lokasi penelitian dilaksanakan di MAN 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna
2. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitiannya adalah kepala sekolah MAN 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna. Sedangkan yang menjadi objek penelitiannya adalah peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
3. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Observasi
Penulis melakukan pengamatan langsung kelapangan untuk mengetahui sejauh mana peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.

b. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan mengadakan pertanyaan kepada kepala sekolah MAN 1 Kecamatan Bunguran Barat guna mendapatkan data tentang peranannya sebagai edukator di MAN 1 Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna.
c. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan dam bahan-bahan yang relevan dengan objek penelitian
5. Teknink Analisis Data
Taknik analisis data yang digunakan dalah menggunakan analisis deskriptif kulaitatif yang diproses dengan prosentase. Caranya adalah apabila data telah terkumpul, lalu dikalsifikasikan menjadi dua kelompok yaitu data yang bersifat kualitatif yang dinyatakan bukan dalam bentuk angka atau digambarkan dengan kata-kata atau kalimat, sedangkan data kuantitatif adalah data yang digunakan dalam bentuk angka kemudian diprosentasikan dan dirumuskan.
Adapaun teknik analisa data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif yang diproses dengan prosentase. Dengan rumus:
P
Dengan keterangan:
P = Prosentase
F = Frekuensi Responden
N = Total Jumlah
Standar yang penulis gunakan dalam penelitian dapat diklasifikasikan ke alam kategori baik, cukup, kurang baik. Baik dan kurang baiknya peranan kepala sekolah sebagai edukator di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kecamatan Bunguran Barat ditentukan dengan prosentase sebagai berikut:
76% - 100% = Baik
56% - 75% = Cukup
00%- 55% = Kurang Baik
Apabila hasil dari total keseluruhan 76 – 100% maka hasil ini dikategorikan baik, apabila 56 – 75% maka hasilnya dikategorikan cukup, dan apabila hasilnya kurang dari 55% maka hasilnya belum optinal.






DAFTAR PUSTAKA


Hartono, (2004). Statistik Untuk Pendidikan, Pekanbaru: LSFK2P.

Harold Koontz dkk, (1984), Manajemen (jilit 1), Jakarta: Erlangga.

M. Arifin, (2003). Kafita Selekta Pendidikan, Edisi Revisi, Jakarta: Bumi Aksara.

Nanang Fattah, (2002). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung: PT Rineka Rosdakarya.

Soebagio Atmadiwiryo, (2000). Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Ardadirya.

Suharsimi Arikunto, (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-undang RI No. 20 thn. 2003, (2005). Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokus Media.

Wahjosumidjo, (2002). Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Winardi, (2001). Motivasi dan Pemotivasian Dalam Manajemen, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Selasa, 06 April 2010

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PROFESI PADA SISWA

TUGAS INDIVIDUAL


PENGAMBILAN KEPUTUSAN PROFESI PADA SISWA


MATA KULIAH:
PENAMBILAN KEPUTUSAN



DOSEN:
TUTI ANDRIANI, M.Pd















OLEH:
KARNO ARIYANTO
NIM: 10713000139



PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
JANUARI 2010



KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan tepat waktu. Sholawat beserta salam dipersembahkan untuk Nabi besar Muhammad SAW yang telah berjasa membawa kita ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. semoga kita selalu dalam safaat Beliau, Amiin.
Selesainya tugas ini tentunya tidak telapas dari partisipasi dan dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak. Semoga Allah membalas kebaikan mereka di dunia dan di akhirat. Untuk itu ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampai kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ini.
Sebagai penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kesalahan baik dari metodologi penulisan, bahasa maupun isi. Untuk itu saya sangat mangharapakan kritik dan saran dari pihapihak yang membaca tulisan ini, agar tulisan ini bisa menjadi lebih baik untuk ke depanya.



Pekanbaru, 16 November 2009


KARNO ARIYANTO
NIM: 10713000139






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Masalah 2


BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengambilan Keputusan 3
B. Urgensi Pengambilan Keputusan 5
C. Pengertian Profesi 7
D. Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi 9

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN 11

DAFTAR PUSTAKA 13




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1, ayat 1 pengertian pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pengertian tersebut merupakan ungkapan makna teleologis dari pendidikan yakni menciptakan warga negara yang bertaqwa, berakhlak dan terampil. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diselenggarakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang bersifat formal, nonformal maupun informal dengan berbagai jenjang mulai dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi.
Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang ditempuh oleh anak Indonesia dalam mengikuti kegiatan pembelajaran secara formal. Jenjang ini merupakan tahap yang strategis dan kritis bagi perkembangan dan masa depan anak Indonesia. Pada jenjang ini, anak Indonesia berada pada pintu gerbang untuk memasuki dunia pendidikan tinggi yang merupakan wahana untuk membentuk integritas profesi yang didambakannya. Pada tahap ini pula, anak Indonesia bersiap untuk memasuki dunia kerja yang penuh tantangan dan kompetisi.
Secara psikologis, masa tersebut merupakan masa pematangan kedewasaan. Pada tahap ini anak mulai mengidentifikasi profesi dan jati dirinya secara utuh. Para ahli pendidikan seperti Montessory dan Charless Buhler (dalam Sugeng Santosa; 2000), menyatakan bahwa pada usia tersebut seseorang berada pada masa ‘penemuan diri’. Secara spesifik, Montessory menyebutkan pada usia 12 – 18 tahun, sementara Charles Buhler menyebutkan pada usia 13 – 19 tahun. Salah satu aspek ‘penemuan diri’ pada anak yang paling penting pada tahap ini adalah pekerjaan dan profesi. Secara psikologis mereka mulai mengidentifikasi jenis pekerjaan dan profesi yang sesuai dengan bakat, minat, dan kecerdasan serta potensi yang dimilikinya.
B. Rumusan Masalah
Agar penejalasan dalam makalah ini tidak meluas atau keluar dari permasalahannya, maka rumusan masalah pada masalah pada makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan Pengambilan Keputusan?
2. Apakah yang dimaksud dengan Profesi?
3. Apa urgensi pengambilan keputusan profesi?

C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atasa maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari rumusan masalah itu adalah:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Pengambilan Keputusan
2. Untuk Mengetahui Pengertian Profesi.
3. Untuk Mengetahui Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama, menyusn alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan keputusan yang terbaik.
Fred Luthans dan Keith Davis (1996) mengemukakan bahwa “Decision making is almost universally defined as choosing between alternatives”. Artinya, bahwa secara umum pengertian dari pengambilan keputusan adalah memilih diantara berbagai alternatif. Pengertian ini diperkuat oleh pendapat Garry Deslerr (2001) bahwa “Decision is a choice made between available alternatives”. Ditinjau dari sudut pandang lain dinyatakan pula bahwa “Decision making is the process of developing and analyzing alternatives and choosing from among them” (Garry Desler, 2001). Way K. Hay dan Cecil G. Miskel (1982) menyatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan siklus kegiatan yang melibatkan pemikiran rasional baik secara individu maupun kelompok dalam semua tingkat dan bentuk organisasi. Pendapat ini menyebutkan pemikiran rasional sebagai hal yang penting. Pemikiran yang rasional merupakan landasan dalam membuat keputusan, karena pilihan terhadap berbagai alternatif yang tersedia didasarkan pada pertimbangan plus-minus, atau manfaat dan konsekwensi yang menyertai setiap pilihan. Setiap pilihan memiliki konsekwensi. Dan rasionalitas berperan utama dalam menemukan konsekwensi tersebut sebelum keputusan diimplementasikan.
Secara umum, pengertian pengambilan keputusan telah dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya adalah:
1. G. R. Terry: Mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah sebagai pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang mungkin.
2. Claude S. Goerge, Jr: Mengatakan proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan diantara sejumlah alternatif.
3. Horold dan Cyril O'Donnell: Mereka mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari perencanaan, suatu rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan, suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.
4. P. Siagian: Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta dan data, penelitian yang matang atas alternatif dan tindakan.
5. Theo Haiman: Inti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan, suatu pemilihan cara bertindak. Dalam hubungan ini kita melihat keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih oleh manajer sebagai suatu yang paling efektif, berarti penempatan untuk mencapai sasaran dan pemecahan masalah.
6. Drs. H. Malayu S.P Hasibuan: Pengambilan keputusan adalah suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternative untuk melakukan aktifitas-aktifitas pada masa yang akan datang.
7. Chester I. Barnard: Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari perilaku perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara relative dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah laku organisasi lebih penting dari pada kepentingan perorangan.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, terdapat satu kata kunci yang penting untuk memahami makna pengambilan keputusan yakni memilih (choice). Memilih berarti menentukan satu hal dari beberapa hal yang ada atau tersedia. Sesuatu yang dipilih ditentukan oleh pertimbangan selera dan rasionalitas individu (Herbert A. Simon, 1997). Biasanya, selera dan rasionalitas tersebut merujuk pada hal-hal yang menyenangkan atau menguntungkan individu dan masyarakat.
Jadi, secara sederhana pengambilan keputusan merupakan peristiwa yang senantiasa terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari dinamika perkembangan kehidupan yang senantiasa berubah dan bersifat sangat kompleks. Dalam konteks ini, proses pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk respon manusia terhadap lingkungannya. Keputusan yang diambil oleh manusia akan menjadi awal bagi penentuan kehidupan selanjutnya. Demikian seterusnya terjalin secara dialektis antara proses pengambilan keputusan dengan lingkungan kehidupan manusia yang luas dan kompleks.

B. Urgensi Pengambilan Keputusan
Keharusan untuk membuat pilihan atau untuk mengambil sebuah keputusan tentunya harus dilandasi dengan adanya alasan atau latar belakang yang kuat. Keputusan tersebut tidak perlu dilakukan, karena Keputusan yang harus diambil memang sudah merupakan keharusan sebagai bagian dari pelaksanaan kegiatan rutin. Akan tetapi, untuk hal-hal yang baru dan bersifat kebijakan manajerial, penetapan adanya alasan yang kuat untuk pengambilan Keputusan tersebut tidak jarang memerlukan perhatian dan kajian khusus, mengingat banyak dan beragamnya informasi yang ada, terutama dalam situasi yang selalu mengalami perubahan seperti saat ini.
Selain itu urgensi dari sebuah pengambilan keputusan adalah:
1. Kedewasaan Sikap
Kedewasaan baik secara individu ataupun kolektif, sangat ditentukan oleh sebuah kata yang bernama sikap. Kematangan ditentukan oleh baik-buruknya sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Dalam hal ini, dunia politik merupakan wilayah yang kontradiktif: di satu sisi kita dituntut untuk sangat dewasa, namun di sisi lain kedewasaan dalam penyikapan adalah suatu hal yang luar biasa sulit. Resikony sangat besar, tantangannya sangat banyak, dan persoalannya sangat memusingkan. Tapi inilah yang menjadi ajang eliminasi politisi, pemimpin, dan sebuah pergerakan.
Penilaian akan mutu sebuah penyikapan politis adalah hasil measure iindikator-indikator ketepatan, efektivitas, dan konsistensi dari sikap yang diambil tersebut.
Ketepatan berkaitan dengan momentum, situasi, tempat, orang, dan iklim penerapan keputusan tersebut. Ini adalah sebuah kolaborasi yang indah dari kebenaran dan presisi.
Efektivitas terkait langsung dengan ketepatan, namun lebih banyak berbicara bagaimana mewujudkan sebuah keputusan yang tepat menjadi realita. Dan ia terkait dengan hal-hal teknis.
Konsistensi, merupakan garis batas yang dengan tegas memisahkan antara idealisme dan pragmatisme. Membangun sebuah konsistensi merupakan upaya yang sulit, mengingat keputusan tidak selamanya tepat atau langsung tepat.
2. Nilai Kebenaran
Kebenaran yang menjadi isi pokok sebuah keputusan sangat terkait dengan referensi, metoda dan proses. Mengenai referensi, kita tidak akan pernah ragu untuk selalu mengedepankan syari’ah: Al Qur’an dan Sunnah. Dalam pada itu, metode yang kita terapkan adalah ijtihad. Ijtihad yang “luas”, tidak jumud. Ijtihad yang mampu menampung dan memadukan dua hal sekaligus : “fiqh wahyu” dan “fiqh waqi’” (realitas). Ijtihad pada hakikatnya adalah mengejawantahkan kebenaran wahyu dalam kebenaran realitas. Maka titik tekan ijtihad kita adalah mashlahat, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “di mana ada kemashlahatan bagi manusia, di sana pasti terdapat syari’at Allah SWT”.
Perlu diingat bahwa tolak ukur kemashlahatan sangat relatif, abstrak, intangible. Namun ia dapat dikira-kira, diasumsikan dengan berbagai data, fakta-fakta, pertimbangan, dan perimbangannya dengan idealita yang kita maksudkan. Sehingga zhann yang kita anut adalah asumsi yang rajih, kuat.
Setelah selesai urusan referensi dan metode, elemen akhir yang terdapat dalam rahim kebenaran adalah proses yang tepat. Ini sekaligus berbicara tentang lembaga pengambilan keputusan itu sendiri. Inilah yang kita sebut dengan syuro. Kemashlahatan yang menjadi tujuan harus melalui asumsi dasar yang kuat, merujuik kepada realitas , rasionalitas dan idealitas. Tentu saja akal kolektif lebih baik dari akal individu. Seperti dikatakan Rasul SAW, “Tidak keliru yang istikharah, dan tidak merugi yang bermusyawarah”
C. Pengertian Profesi.
Profesi dapat diartikan sebagai sautu pekerjaan yang mensyaratkan persiapan spesialisasi akademik dalam waktu yang relatif lama di perguruan tinggi. Hal ini mencakup berbagai bidang, seperti bidang sosial, eksakta, dan seni. Pekerjaan ini lebih bersifat mental intelektual yang dalam mekanisme kerjanya dikuasi oleh kode etik.
Profesi sesungguhnya merupakan lembaga yang mempunyai otoritas otonom, karena didukung oleh beberapa factor, yaitu spesialiasi ilmu sehingga membawa keahlian tertentu, kode etik yang direalisasikan dalam menjalankan profesi.
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai pekerjaan yang didasari oleh keterampilan dan keahlian (skill and expertise) tertentu. Carter V. Good (1973), menjelaskan bahwa jenis pekerjaan yang berkualifikasi profesional memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi calon pelakunya, kecakapan profesi berdasarkan standard baku yang ditetapkan oleh organisasi profesi atau organisasi yang berwenang lainnya, profesi tersebut mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan negara dengan segala civil effectnya (Carter V. Good, 1973).
Ahli profesi di Indonesia seperti dikutip oleh Nyoman Dentes menyusun ciri-ciri utama profesi, yakni sebagai berikut:
1. Memiliki fungsi atau signifikansi sosial yang krusial.
2. Tuntutan penguasaan keterampilan sampai pada tingkatan tertentu.
3. Proses pemilikan keterampilan tersebut berdasarkan penggunaan metode imiah.
4. Memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, eksplisit dan sistematis.
5. Penguasaan profesi tersebut memerlukan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2002).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka makna terpenting dari profesi adalah adanya keterampilan sebagai dasar kehidupan yang diperoleh melalui pendidikan, dan bertujuan untuk menolong masyarakat. Pengertian ini menyiratkan makna bahwa tidak semua pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi. Tetapi setiap profesi selalu berbentuk pekerjaan.


D. Urgensi Pengambilan Keputusan Profesi.
Berdasarkan uraian sebelumnya tentang profesi, dapat dimengerti bahwa profesi merupakan salah satu urusan penting dan utama bagi kelangsungan hidup, harkat dan martabat individu. Hal tersebut karena profesi berkaitan dengan pekerjaan, mata pencaharian, dan penghasilan serta kesejahteraan. Kehidupan seseorang dapat memiliki makna yang berarti hanya dengan profesi yang digeluti. Tanpa profesi yang dijalani, maka kehidupan seseorang tidak memiliki nilai.
Sebelum suatu profesi dijalani, terlebih dahulu secara personal terjadi proses pengambilan keputusan, yakni aktivitas berpikir, menelaah dan menimbang beberapa jenis profesi. Ini adalah proses pengambilan keputusan profesi. Dalam rentang kehidupan individu, ada suatu tahap di mana tahap perkembangan individu secara sadar mendorongnya untuk memilih profesi, dan/atau pekerjaan. Tahap ini menurut Anne W. Gormly dan David M. Brodzisky (1993) disebut dengan tahap decision years; yakni masa pengambilan keputusan. Secara biologis, ini ada pada rentang usia 18 – 40 tahun. Masa ini disebut pula dengan fase awal kedewasaan (early-childhood). Pada fase ini, seseorang mulai memasuki dunia kerja, profesi, dan karier.
Selanjutnya, Gormly dan Brodzisky (1993) mengkaji kehidupan manusia berdasarkan ‘lifespan perspektif’; yakni suatu pandangan yang meyakini bahwa perkembangan yang terjadi sepanjang usia manusia merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor: fisik, biologis, sosial, historis, budaya dan psikologis. Mereka membagi tahapan kehidupan manusia terdiri atas: beginning years, exploring years, learning years, transition years, decision years, reassessment years, golden years, dan final years. Setiap tahap adalah kontinuitas dan sekuens dari tahap sebelumnya.
Berdasarkan lifespan perspektif, maka pekerjaan, mata pencaharian dan profesi, ada dan mulai berkembang pada tahap learning years, transition years, dan decision years dan seterusnya. Pada tahap learning years, individu mulai menyadari pentingnya peran dan pekerjaan. Ini ada pada usia 6 – 12 tahun. Oleh karena itu, tahap ini dalam perspektif psikologis disebut masa pertengahan anak-anak (middle-childhood). Selanjutnya setelah learning years adalah tahap transisi (transition years) pada usia 12 – 18 tahun. Biasa disebut pula dengan masa Adolescence. Pada tahap ini orang mulai mengembangkan keterampilan kerja, bekerja paruh waktu, dan mulai mengeksplorasi dan merencanakan karier. Setelah tahap ini selesai, maka seseorang memasuki tahap decision years.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa jenjang Pendidikan Menengah atau masa pada Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berada pada rentang usia 16 – 18 tahun merupakan akhir masa transisi (transition years) dan awal masa pengambilan keputusan (decision years). Oleh karena itu, pengambilan keputusan profesi pada masa ini merupakan hal yang penting.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pada umumnya siswa pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, MA, SMK) yakni 64,25%, belum mampu mengambil keputusan untuk profesi, pekerjaan dan karier yang akan digelutinya.
2. Pada umumnya siswa pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA, MA, SMK) belum memperoleh wawasan, pengetahuan dan informasi yang cukup untuk mengambil keputusan tentang profesi, pekerjaan, dan karier.
3. Pada umumnya orang tua siswa, pendidik dan tenaga kependidikan pada jenjang Pendidikan Menengah belum memberikan wawasan, pengetahuan dan informasi yang relevan tentang dunia pekerjaan dan profesi kepada siswa.

B. Saran-saran.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:
1. Para pengamat dan ilmuwan sosial perlu merubah titik pandang (point of view) tentang penyebab pengangguran terutama pengangguran terpelajar (scholar unemployment). Selama ini pandangan publik terbentuk bahwa pengangguran merupakan akibat dari kelangkaan kesempatan kerja. Tetapi melalui temuan penelitian ini, pandangan tersebut tidak semuanya benar. Pengangguran terutama pengangguran terpelajar (scholar unemployment) juga merupakan akibat dari ketidak-siapan output pendidikan memasuki pasar kerja. Hal tersebut karena mereka belum mengambil keputusan tentang profesi ketika berada di sekolah.
2. Sekolah terutama pada jenjang Pendidikan Menengah perlu menyediakan informasi dan wawasan dasar tentang profesi, pekerjaan dan karier kepada siswanya. Pendidik dan tenaga kependidikan, utamanya Kepala sekolah bersama guru Bimbingan Penyuluhan dan Konseling perlu memberikan pengetahuan dan informasi yang relevan tentang pekerjaan, profesi dan karier kepada siswa-siswinya. Hal ini harus diatur sedemikian rupa agar tidak menggagu proses belajar-mengajar anak, serta tidak mempengaruhi hasil belajar. Sedapat mungkin ini dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi anak untuk memacu prestasinya dan menyongsong masa depannya yang cerah.
3. Orang tua atau wali siswa diharapkan sering melakukan dialog (sharing) dengan putra-putrinya yang duduk di bangku sekolah jenjang Pendidikan Menengah untuk membahas pekerjaan dan profesi yang akan digeluti.









DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS RI
Depdiknas. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 038, Tahun ke 8, 2002. Jakarta: Balitbang-Diknas
Santoso, Sugeng. 2000. Problematika Pendidikan. Jakarta: Kreasi Pena Gading
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Potensia, Jurnal Kependidikan Islam, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU DI SMP NEGERI KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU UTARA

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU DI SMP NEGERI KECAMATAN KEPULAUAN SERIBU UTARA
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang berfalsafah Pancasila, memiliki tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya, sangatlah tepat. Konsep Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengembangkan hubungan dengan Tuhan, dengan alam lingkungan, dengan manusia lain, bahkan juga untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsanya, jasmani maupun rohaninya secara integral.
Pendidikan merupakan sebuah konsep pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan dengan sangat cermat dan penuh konsentrasi, baik yang bersifat human resources maupun material resources. Peningkatan seluruh komponen tersebut akan sangat baik dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan.
Telah terbukti, bahwa peningkatan kualitas komponen-komponen sistem pendidikan sangtlah berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan, terutama human resources. Hal ini dapat dipahami dari kenyataan, bahwa komponen yang bersifat material tidak akan berfungsi dan bermanfaat tanpa adanya komponen yang bersifat human resources yang mengaplikasikannya. Komponen-komponen sistem pendidikan yang bersifat human resources adalah tenaga kependidikan guru dan non guru.
Perhatian terhadap mutu pendidikan terus meningkat, seiring dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Aspek pendukung pendidikanpun semakin berkembang dari mulai tekhnologi dan ilmu pengetahuan yang semakin menggelobal dan menuntut kita untuk terus mencari ilmu lebh banyak serta berpengaruh terhadap pembangunan Indonesia yang semakin nyata.
Hal itu dapat dilihat dari sikap para orang tua siswa yang mulai aktif dan kreatif untuk menjadikan anaknya sebagai siswa yang kompeten dan qualified dalam pengembangannya. Orang tua siswa terus memacu anaknya agar berprestasi lebih baik dari sebelumnya untuk mendapatkan sekolah atau institusi yang baik untuk pendidikan. Semua itu berakibat baik untuk pendidikan, karena sekolah-sekolah negeri maupun swasta di Indonesia membuat standar kompetensi yang tinggi untuk dapat menerima siswa di sekolahnya yang sering disebut dengan istilah “sekolah unggulan” atau sekolah favorit”, gelar itu semakin membuat ketertarikan siswa untuk masuk dan menjadi siswa di sekolah tersebut.
Proses pendidikan merupakan aktivitas yang sangat panjang dan penuh dengan perencanaan serta strategi yang matang dalam pengaplikasiannya, dengan tujuan agar seluruh komponen pendidikan dapat berjalan sesuai dengan fungsinya. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu: “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, manusia yang beriman dan bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang berdemokrasi dan bertanggung jawab”.
Tujuan pembangunan di atas harus didukung oleh semua pihak, tidak hanya dari pemerintah saja yang membuat berbagai macam peraturan maupun konsep pembangunan tetapi kesadaran dari setiap individu untuk turut serta membantu melancarkan aktivitas pembangunan nasional dibidang pendidikan. Karena pada dasarnya kesadaran dan dukungan merupakan salah kesatuan yang sangat penting dalam usaha demi terwujudnya kemajuan yang dilaksanakan oleh semua pihak baik dalam tatanan tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Majunya lembaga pendidikan tidak lepas dari konsep-konsep kepala sekolah. Keberhasilan suatu lembaga pendidikan tidak lepas dari kepemimpinan kepala sekolah yang membawahinya. Karena kepala sekolah sebagai pimpinan di lembaganya, maka dia harus mampu membawa lembaganya menjadi lembaga yang mampu berdaya saing dan memiliki kompetensi untuk kemajuan pendidikan. Selain itu, kepala sekolah harus bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan semua urusan pengaturan yang telah diterapkan di lembaganya, karena dia yang telah membuat serta menganalisis karakteristik lembaganya sehingga pengaturan sekolah itu dapat tercipta dengan proporsional dan tidak berlebihan. Kepala sekolah sebagai seorang pendidik, administrator, pemimpin, supervisor, sekaligus pengambil keputusan diharapkan dengna sendirinya dapat mengelola lebaga pendidikan kearah perkembangan yang lebih baik dan dapat menjajikan masa depan yang lebih baik.
Berdasarkan kegiatan belajar yang dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri Kecamatan Kepulauan Seribu Utara kepala sekolah sering melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan, perubahan yang diambil guna untuk menciptakan rekomendasi dalam memecahkan masalah yang ada di lembaga tersebut. Kepala sekolah adalah peserta utama dalam perumusan keputusan. Mereka duduk sebagai aktor kebijakan karena status formalnya. Pembuatan keputusan formal ini bekerja atas dasar prioritas yang mendesak, mereka bertanggung jawab atas proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan dan pertanggung jawabannya.
Kebijakan yang diambil oleh kepala sekolah merupakan langkah untuk tercapainya perubahan dalam lembaga pendidikan yang dikelolanya. Kebijakan yang diambil adalah memberikan motivasi kepada tenaga pendidikan untuk selalu meningkatkan kinerja baik di sekolah maupun di luar sekolah. Disadari atau tidak kelancaran penyelenggaraan pembangunan pendidikan tidak jarang terambat oleh faktor yang sangat signifikan, seperti terbatasnya sarana dan prasarana, minimnya dana pendidikan, penghargaan kepada profesi yang sangat rendah dan terbatasnya berbagai penunjang pembangunan pendidikan lainnya. Perkembangan dunia pendidikan sangatlah ditentukan oleh kinerja sekolah sebagai suatu lembaga atau organisasi yang erat hubungannya dengan kinerja perseorangan yang berada didalamnya, dan pada waktunya kinerja sekolah akan ditentukan pula oleh kinerja perseorangan atau kinerja tenaga pendidikan.
Kunci utama dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah mutu tenaga kerja pendidikan . Dalam hal ini tidak hanya diperlukan sebuah reformasi mendasar pada tenaga pendidikan tetapi juga harus sejalan dengan penghargaan yang diberikan terhadap prestasi kerja dari tenaga pendidikan tersebut. Seorang tenaga pendidikan akan bekerja sangat profesional dan selalu tanggap terhadap tuntutan dan berbagai perubahan zaman, bekerja berdasarkan kehliak khusus yang dimilikinya dan selalu memperbaharui kemampuan serta pengetahuannya.
Dalam hal ini, peran kepala sekolah menjadi sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengajak, membina, serta mempengaruhi tenaga pendidikan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepala sekolah mampu menciptakan atau membangun jalinan yang harmonis antara tenaga pendidikan dengan kepala sekolah ataupun diantara sesama tenaga pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan mencermati hubungan kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di sekolah menengah pertama negeri kecamatan Kepulauan Seribu Utara
1.2 Identifikasi Masalah
Hubungan kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan beberapa masalah yang perlu dikaji melalui penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah menengah pertama negeri di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ?
2. Bagaimana kinerja guru di sekolah menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ?
3. Bagaimana hubungan kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di sekolah
menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ?
4. Bagaimana kepala sekolah memberikan reward dan fushnisment terhadap guru sekolah
menengah pertama di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ?
5. Bagaimana cara kepala sekolah menjalankan tugasnya di sekolah, dalam posisinya
sebagai leader, manajer, motivator, inovator dan educator?
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka masalah dibatasi pada : “hubungan kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di sekolah menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara”
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kepemimpinan kepala skolah di sekolah menengah pertama negeri
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
2. Untuk mengetahui kinerja guru di sekolah menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
3. Untuk mengetahui hubungan kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di
sekolah menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
II. Landasan Teori
Ada dua macam teori yang akan dibahas sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu teori tentang kepemimpinan kepala sekolah dan teori tentang kinerja tenaga kependidikan dalam hal ini guru.
2.1 Kepemimpinan Kepala Sekolah
Menurut Nanus dan Dobbs,We also after our own definition : a leader of a non provit organization a person who marshals the people, capital and intlectual resources of the organization to move it in the right direction (pimpinan dalam organisasi non provit adalah seseorang yang membangkitkan orang, modal dan sumber daya intelektual dalam organisasi agar dapat bergerak lebih cepat). More precisely :
a. Marshaling resources means collecting them, focusing their attention and inspiring or empowering their use (menggerakkan manusia artinya engumpulkan mereka, memfokuskan perhatian, memberikan inspirasi, memberdayakan dan memanfaatkan mereka).
b. Moving in organization means organizing it, removing obstacles to progress, making the changes necessary to improve pervormeance and enabling it to learn and grow (menggerakkan organisasi berarti memberikan energi, membuang segala rintangan untuk maju, membuat perubahan yang diperlukan untuk memperbaiki kinera dan memungkinkan mereka untuk belajardan tumbuh).
c. The right direction in the one that makes the greatest possible contribution over the long term to society or to the particular clients or community that the organization was created to serve (arah yang tepat adalah sesuatu yang memungkinkan kontribusi besar dalam jangka panjang terhadap masyarakat, klien tertentu atau masyarakat yang menjadi target organisasi).
Jadi kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang lain, agar orang tersebut dapat melakukan segala perintah dan aturan yang telah dibuat untuk membangun serta mencapai tujuan organisasi.
Searah dengan Binney dan Wilke mengatakan bahwa :
a. To be effective, leaders have to connect with the people around them, people work for people (akan menjadi efektiv jika pempinan berhubungan dengan orang-orang sekitarnya, orang-orang yang bekerja untuk mereka)
b. Leaders could not transform their business environment, organizational culture and people dynmics in the way they hoped (pimpinan tidak dapat mentransformasikan lingkungan mereka, budaya dan orang-orang organisasinya serta mengelompokkan
dinamika dengan cara mereka sendiri).
c. Leadership is not about knowing the answer, it is the capacity to release the collective intelegence and insight of groups and organization (kepeimpinan bukan merupakan sekedar mengetahui jawaban, namun kepemimpinan merupakan kapasitas menyampaikan intelegensi secara keseluruhan dan mencurahkan kelompok organisasi).
Maksud dari kutipan diatas adalah bahwa pemimpin membutuhkan keahlian dalam meningkatkan kinerja bawahannya, karena pimpinan sebagai manajer tidak hanya terbatas pada pengaturan konsep dan admnistrasi saja tetapi juga mengetahui bagaimana sebaiknya memberikan dukungan terhadap bawahannya agar kinerja bawahannya dapat lebih profesional dan qualified.
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di sekolah. Pola kepemimpinannya akan sangat berpengaruh bahkan menentukan citra dan nasib sekolah yang dipimpinnya tersebut. Oleh karena itu, dalam pendidikan modern kepala sekolah perlumendapat perhatian khusus dan serius. Kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha agar dapat mempengaruhi, mendorong, membimbing, memotivasi serta mengarahkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, dan pihak lain yang terkait, untuk bekerja dan berperan serta dalam mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Singkatnya, bagaimana cara kepala sekolah untuk “membuat” orang lain bekerja untuk mencapai tujuan sekolah.
Sejalan dengan pendapat Mulyasa bahwa dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah harus mampu berfungsi sebagai Educator, Manajer, Administrator, Supervisor, Leaders, Inovator, dan Motivator (EMASLIM). Untuk itu perlu dipahami dan dilaksanakan oleh kepala sekolah.
a. Kepala sekolah sebagai educator
Menurut Wahjosumidjo memahami arti pendidikan tidak cukup berpegang pada konotasi yang terkandung dalam definisi pendidik, sarana pendidik, dan bagaimana strategi pendidikan dilakukan. Untuk itu kepala sekolah harus berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya empat macam nilai, yakni pembinaan mental, moral dan artistik.
Selanjutnya Mulyasa menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah fungsinya sebagai educator khususnya dalam meningkatkan kinerja tenaga edukatif dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1) Mengikutsertakan guru-guru dalam penataran-penataran
2) Kepala Sekolah harus berusaha menggerakkan tim evaluasi
3) Menggunakan waktu belajar secara efektiv di sekolah
b. Kepala Sekolah sebagai manajer
Kepala sekolah dilihat dari fungsinya sebagai manajer, manajemen pada hakekatnya merupakan suatu proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, memimpin dan mengendalikan usaha para anggota organisasi serta sumber daya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan . Pernyataan ini menjelaskan bahwa dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer kepala sekolah harus mempunya strategi sebagai berikut:
1) Memberayakan tenaga kependidikan melalui kerja sama
2) Memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya
3) Mendorong semua keterlibatan tenaga kependidikan
c. Kepala Sekolah sebagai administrator
Menurut Mulyasa kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi pendidikan yang meliputi penyusunan dan pencatatan dokumen seluruh program sekolah yang meliputi (a) kemampuan untuk mengelola kurikulum (b) mengelola administrasi peserta didik (c) mengelola administrasi personalia (d) mengelola adinistrasi sarana prasarana (e) mengelola administrasi kearsipan (f) dan mengelola administrasi keuangan.
d. Kepala sekolah sebagai supervisor
Tugas kepala sekolah sebagai supervisor dapat diartikan sebagai tugas mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan. Segiovani dan Start menyatakan bahwa: “Supervision is a process desigened to help teacher and supervisior learn more about their practice; to better able to use their knowledge and skills to better serve parents and schools; and ake the school a more affective learning community” (supervisi aalah proses yang dirancang secara khusus untuk membantu dalam mempelajari tugas, sehingga kemampuan dan pengetahuannya dapat digunakan untuk memberikan layanan yang lebih baik dan beupaya menjadikan sekolah sebagai masyarakat belajar yang efektiv).
e. Kepala sekolah sebagai leader
Sebagai leader, kepala sekolah harus mampu memberikan petunjuk dan pengawasan, meningkatkan kemampuan tenaga kependidikan. Membuka komunikasi dua arah dan mendelegasikan tugas. Menurut wahjosumidjo bahwa kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional, serta pengetahuan administrasi dan kepengawasan.
Dalam implementasi, sebagai leader kepala sekolah ada tiga sifat kepeimpinan, yakni demokratis, laissez-faire atau otoriter. Ketiganya sering dimiliki secara bersamaan, sehingga dalam melaksanakan kepemimpinannya sifat-sifat tersebut akan muncul secara situasional.
f. Kepala sekolah sebagai innovator
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai inovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan yang baru mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah dan mengembangkan model-model yang inofatif.
Menurut Mulyasa kepala sekolah sebagai inovator akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan objektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel.
Kepala sekolah sebagai inovator intinya harus dapat mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai macam pembaharuan di sekolah, sehingga akan banyak berbagai tantangan, banyak pembelajaran akan nampak dinamis, kreatif dan tidak menjenuhkan.
G. kepala sekolah sebagai motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Menurut Mulyasa, motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara afektif, dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan Pusat Sumber Belajar (PSB).
Motivasi dapat ditimbulkan melalui pengaturan fisik, pengaturan suasana kerja (non fisik), disiplin dan menerapkan prinsip penghargaan dan fushnisment secara efektif.
Dari berbagai pendapat dan teori-teori di atas dapat diartikan bahwa kepemimpinan kepala sekolah adalah suatu proses mempengaruhi segenap komponen pendidikan di sekolah dari mulai menentukan arah, mewujudkan visi dan misi melalui stratgei yang telah ditetapkan agar dapat encapai tujuan sekolah yang telah di tetapkan.
2.2 Kinerja
Sekolah sebagai lembaga formal adalah merupakan organisasi dengan kegiatan utama pendidikan, dimana sumber daya manusia dapat dikembangkan dengan lebih terarah sesuai dengan spesipikasi tertentu melalui proses belajar mengajar. Hal ini merupakan ciri khusus pada organisasi sekolah yang mebedakannya dari organisasi kerja yang lain, oleh karena itu proses belajar mengajar harus dikelola secara baik dan berdaya guna, agar sekolah dapat mencapai tujuannya. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu peran tenaga pendidikan sangat strategis, peran tenaga pendidikan dalam proses belajar mengajar di sekolah tidak dapat dipisahkan dari kinerja yang dimiliki oleh seorang pegawai.
Mitrani mengungkapkan bahwa kinerja sebagai pernyataan sejauh mana seseorang telah memainkan perannya dalam melaksanakan strategi organisasi, baik dalam mencapai sasaran-sasaran khusus yang berhubungan dengan peran perseorangan, atau dengan memperhatikan kompetensi-kompetensi yang dinyatakan relevan bagi organisasi apakah dalam suatu peranan tertentu atau yang lebih umum.
Mc Celland mendefinisikan kinerja sebagai cerminan dari keseluruhan cara seseorang dalam menetapkan tujuan prestasinya. Seorang guru yang baik bekerja dengan perencanaan-perencanaan yang matang sehingga tujuan yang direncanakan dapat di capai. Perbedaan kinerja antara seseorang yang lain suatu situasi kerja adalah karena perbedaan karakteristik dari individu. Pada dasarnya kinerja dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor individu dan faktor situasi.
Dari berbagai teori diatas dapat disintesiskan bahwa kinerja adalah sebuah perilaku kerja profesional seseorang yang sedang berada dalam sebuah wadah maupun luar organisasi dan dibuktikan dengan keseriusan bekerja. Pengaplikasian pada guru ada lah pembiasaan disiplin untuk datang tepat waktu bahkan sebelum waktu masuk sekolah tiba serta matangnya perencanaan strategi untuk mengajar di dalam kelas. Selain itu kepedulian duru terhadap kegiatan-kegiatan yang di adakan oleh sekolah maupun luar sekolah yang secara langsung dan tidak langsung dapat meningkatkan prestasi sekolah tersebut.
III. Metode Penelitian
3.1 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan membuktikan pengetahuan. Maka tujuan ini adalah untuk memperoleh gambaran nyata mengenai hubungan kepemimpinan dengan kinerja guru di sekolah menengah atas Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan di sekolah menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara (SMP N 133 jakarta, Jl. Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta 14530 ; SMP N 260 Jakarta, Jl. Pulau Kelapa Kelurahan Pulaun Kelapa Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta 14540). Pelaksanaan penelitian ini direncanakan mulai bulan desember 2009 sampai bulan februari 2010
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Penulis melakukan wawancara kepada populasi dan sample yang telah ditentukan serta observasi terhadap sekolah yang diteliti.
3.4 Unit Analisis
Unit yang dianalisis dalam penelitian ini adalah seluruh guru sekolah menengah pertama di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Dari 52 jumlah guru sekolah menengah pertama di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, penuis hanya mengambil 26 guru untuk dijadikan sample penelitian.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberian angket kepada beberapa guru mengenai kepemimpinan kepala sekolah dan hubungannya terhadap kinerja guru di sekolah menengah pertama Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
3.5.1 Variabel Kepemimpinan Kepala Sekolah
a. Definisi konseptual
Kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha agar dapat mempengaruhi, mendorong, membimbing, memotivasi serta mengarahkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, dan pihak lain yang terkait, untuk bekerja dan berperan serta dalam mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Singkatnya, bagaimana cara kepala sekolah untuk “membuat” orang lain bekerja untuk mencapai tujuan sekolah.
b. Definisi Operasional
Kepala sekolah adalah seseorang yang memiliki kekuasaan penuh terhadap lembaga pendidikan yang dibawahinya serta melakukan pekerjaan sesuai dengan job description yang telah ditetapkan dalam rencana kerja tanpa menyesuaikan dengan perubahan situasi dan kondisi di sekitarnya.
3.5.2 Variabel Kinerja
a. Definisi Konseptual
Kinerja sebagai pernyataan sejauh mana seseorang telah memainkan perannya dalam melaksanakan strategi organisasi, baik dalam mencapai sasaran-sasaran khusus yang berhubungan dengan peran perseorangan, atau dengan memperhatikan kompetensi-kompetensi yang dinyatakan relevan bagi organisasi apakah dalam suatu peranan tertentu atau yang lebih umum
c. Definisi Operasional
Kinerja adalah perilaku profesional seseorang dalam bekerja untuk mendapatkan sebuah reward sebanyak-banyaknya serta mengurangi potensi untuk mendapatkan fushnisment dari atasannya.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yag dilakukan dalam penelitian ini adalah dari 26 guru yang dijadikan sample penelitian, masing-masing diberikan angket untuk mengetahui presentase hubungan kepemimpinan kepala sekola terhadap kinerja guru. Adapun isi angket tersebut terdiri dari dua jenis pernyataan yaitu pernyataan mengenai kinerja dari pihak guru dan pernyataan mengenai kepemimpinan kepala sekolah dari pihak kepala sekolah, semua pernyataan itu diisi oleh 26 guru yang menjadi sample dalam penelitian ini. Di dalam angket tersebut terdapat masing-masing 34 butir pernyataan dari satu jenis per nyataan, jadi jumlah keseluruh pernyataan dari angket tersebut adalah 64 butir pernyataan. Selain pemberian angket, penulis juga melakukan observasi langsung ke sekolah menengah pertama negeri di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara untuk mendapatkan data yang lebih akurat serta terbukti keabsahannya.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan Microsoft office Word dan Microsoft exel untuk penghitungan serta analisis data yang telah ditemukan. Selain itu, Penulis juga melakukan analisis dengan cara membandingkan sekolah yang diteliti dengan sekolah-sekolah lain yang memiliki sistem manajemen sekolah yang berbeda agar penarikan hasil dan kesimpulan dari penelitian ini dapat lebih baik.